TERAPAN DAN TANTANGANNYA
BAGI ZAMAN KITA
Tugas Penelitian Mahasiswa Ini untuk Memenuhi
Persyaratan Perkuliahan Mata kuliah
Pengantar Kode Etik Psikologi
Pengantar Kode Etik Psikologi
Kelompok 6:
Aulia
Pratiwi 168600107
Siti
Resti Tri Ramahdani 168600163
Nurlailan 168600069
Siti
Ramadhani 168600097
Frans Panjaitan 168600427
Fakultas Psikologi
Universitas Medan Area
Medan
2018
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Masalah-Masalah Etika Terapan Dan
Tantangannya Bagi Zaman Kita” tepat pada waktunya. Pada makalah ini penulis
ingin memaparkan tentang Masalah Etika Terapan dan Tantangannya bagi zaman kita.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kode Etik Psikologi.
Kami menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu
juga dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca.
Medan, 27 April 2018
Penyusun
Daftar
Isi
Halaman Judul Halaman
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1 Etika Sedang Naik Daun................................................................... 3
2.2 Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan.................................. 5
2.3 Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner.................................. 6
2.4 Pentingnya Kasuistik......................................................................... 7
2.5 Kode Etik Profesi.............................................................................. 8
2.6 Etika di Depan Ilmu dan Teknologi................................................. 10
2.6.1
Ambivalensi Kemajuan
Ilmiah............................................. 10
2.6.2
Masalah Bebas Nilai............................................................. 11
2.6.3
Teknologi Yang Tak
Terkendali........................................... 12
2.6.4
Tanda-tanda yang
Menimbulkan Harapan........................... 13
2.7 Model – model Memori Jangka Panjang.......................................... 14
2.7.1
Dari Sikap Awal
menuju Refleksi........................................ 14
2.7.2
Informasi.............................................................................. 15
2.7.3
Normal-normal Moral........................................................... 15
2.7.4
Logika.................................................................................. 16
CONTOH STUDI KASUS............................................................................ 17
BAB III PENUTUP....................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 19
3.2 Saran................................................................................................ 19
Daftar Pustaka................................................................................................ 20
PENDAHULUAN
Jika
dipandang pada skala dunia, selama kira-kira tiga dawarsa terakhir ini wajah
filsafat moral berubah cukup radikal. Tidak bisa disangkal, dalam situasi kita
sekarang ini etika sedang naik daun. Hal itu terutama tampak dengan
penampilannya sebagai etika terapan. Kadang-kadang disebut juga filsafat
terapan. Namun sekarang dianggap biasa saja, jika etika membahas masalah-masalah
yang sangat praktis, sedangkan sebelumnya ia justru agak segan menyinggung
persoalan konkret dan aktual.
Aliran
dalam filsafat moral ini menempatkan diri pada tahap lebih tinggi dari pada
membahas masalah-masalah etis. Mereka tidak menyelidiki baik buruknya
perbuatan-perbuatan manusia, melainkan mengarahkan segala perhatiannya kepada
“bahasa moral” atau ungkapan-ungkapan kita tentang baik buruk.Di negara-negara
berbahasa inggris metametika menjadi aliran filsafat moral yang dominan selama enam
dekade pertama dalam abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an terlihat suatu
tendensi lain. Sekitar saat itu etika mulai meminati masalah-masalah etis yang
konkret. Dilihat secara retrospektif, bahwa perubahan ini disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor pertama perkembangan pesat di bidang ilmu dan
teknologi dan faktor kedua pada masyrakat 1960-an tercipta semacam “iklim
moral” yang seolah-olah mengundang minat baru untuk etika.
Pentingnya
etika terapan sekarang ini tampak juga karena tidak jarang jasa ahli etika
diminta untuk mempelajari masalah-masalah yang berimplikasi moral. Hal itu
terutama terjadi jika pemerintah suatu Negara ingin membuat peraturan hukum
yang sedang berlaku. Gambaran tentang peranan dan kedudukan etika terapan yang
diusahakan di atas tentu jauh dari lengkap. Tapi kiranya cukuplah untuk
memperlihatkan bahwa dengan orientasi praktis ini etika sekarang tampak dalam
cahaya baru. Dan tentu saja penampilan baru ini mempunyai konsekuensi juga
untuk etika umum. Jika etika ini begitu disibukkan di bidang praktis, maka
tidak bisa lain teori etika terkena juga. Terdapat pengaruh timbal balik antara
etika teoritis dan etika terapan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana Masalah–Masalah Etika Terapan dan Tantangannya Bagi Zaman
Kita?”
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Masalah-Masalah Etika Terapan dan
Tantangannya Bagi Zaman Kita.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika Sedang Naik Daun
JIKA dipandang pada skala dunia, selama kira-kira lima
dasawarsa terakhir ini wajah filsafat moral berubah cukup radikal. Tidak bisa
disangkal, dalam situasi kita sekarang ini etika sedang naik daun. Hal itu
terutama tampak dengan penampilannya sebagai etika terapan (applied ethics), kadang-kandang juga
disebut filsafat terapan (applied
philosophy). Pada awal abad ke-20 etika diperaktekkan sebagai “metaetika”
Bagi metaetika pertanyaan pokok adalah:apa yang kita
maksudkan, jika suatu perbuatan disebut baik atau buruk? Apa artinya
kategori-kategori seperti “Baik”, “Buruk”, “Layak” dan sebagainya, bila dipakai
dalam konteks etis? Kiranya sudah jelas, dengan pendekatan seperti itu mereka
justru menjauhi aktualitas di bidang moral.
Pertama, perkembangan pesat di bilang ilmu dan teknologi
menimbulkan banyak persoalan etis yang besar, khususnya dalam sektor ilmu-ilmu
biomedis. Sebentar lagi dalam pasal 6 kita kembali pada faktor pertama ini.
Kedua, dalam masyarakat tahun 1960-an tercipta semacam “Iklim moral” yang seolah-olah
mengundang minat baru untuk etika.
Di Amerika Serikat pada waktu itu berlangsung puncak
perjuangan civil rights (hak-hak
warga negara), khususnya persamaan hak bagi golongan kulit hitam. Mulai di
dunia Barat (Tapi tidak terbatas di situ) waktu itu terlihat gerakan kuat yang
menuntut persamaan hak wanita. Pada akhir tahun 1960-an dan permulaan 1970-an
terjadi juga “revolusi mahasiswa” di beberapa negara Barat, dengan salah satu
puncaknya di Prancis Mei 1968. “Revolusi” itu bisa dilihat sebagai semacam
perjuangan gak juga, terutama hak
mahasiswa untuk diikutsertakan dalam pengurusan universitas dengan diwakili
dalam organ-organ yang menentukan kebijakan akademis.
Etika terapan merupakan suatu istilah baru, tapi sebetulnya
yang dimaksudkan dengannya sama sekali bukan hal baru dalam sejarah filsafat
moral. Sejak Plato dan Aristoteles sudah ditekankan bahwa etika merupakan
filsafat praktis, artinya, filsafat yang ingin memberikan penyuluhan kepada
tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus kita lakukan.
Sekarang filsafat moral – khususnya dalam bentuk etikat
trapan – mengalami suatu rhasa kejayaan.
Di banyak tempat di seluruh dunia setiap tahun di adakan
kongres dan seminar tentang masalah-masalah etis. Telah didirikan cukup banyak institut, di dalam maupun di luar
kalangan perguruan tinggi, yang khusus mempelajari persoalan-persoalan moral,
kerap kali dalam kaitan dengan bidang ilmiah tertentu(ilmu kedokteran, hukum,
ekonomi, bisnis, dan lain-lain).
Pentingnya etika terapan sekarang ini tempak juga karena
tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk mempalajari masalah-masalah yang
berimplikasi moral. Terutama terjadi jika pemerintahan suatu nergara ingin
membuat peraturan hukum tentang suatu masalah baru atau mengubah ketentuan
hukum yang sedang berlaku.
Suatu contoh adalah kelompok kerja tentang pornografi dan
sensor film yang dibentuk oleh Kementrian Dalam Negeri Inggris di bawah
pimpinan filsuf kawakan Bernard Wiliams. Contoh yang barang kali menarik paling
banyak perhatian adalam komisi yang didirikan oleh Kementrian kesehatan Inggris
tentang masalah-masalah di sekitar pembuahan in vitro (atau poluernya bayi tabung).
Mempelajari masalah-masalah mengenai ilmu-ilmu biomedis: The National commission for the Protection
of Human Subjects of Biomedical and Behavioral Research (1974-1978) dan The President’s Commission for the Study of
Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research (1980-1983).
Pada taraf internasional pun sekarang diberi banyak
perhatian kepada etika terapan, khususnya dalam rangka United Nations Educational, scientific, and Cultural Organization
(Unesco) yang sudah didirikan tahub 1945. Untuk pertama kali Unesco mulai
membidik etika ilmu dan teknologi, dan khususnya bioetika, dengan membentuk International Bioethics Committe (IBC),
suatu kelompok interdisipliner dan multikultural yang terdiri atas 36 pakar
yang diangkat oleh Direktur Umum dan menghasilkan laporan tentang berbagai
masalah etis yang aktual. Pada tahun 1998 dibentuk lagi Intergovernamental Bioetchis Committee (IGBC) yang juga terdiri
atas 36 anggota yang dipilih oleh Konfrensi Umum dan mewakili negara mereka
masing-masing. Mereka bertugas mempelajari laporan dan rekomendasi dari IBC
untuk menentukan apakah hal itu bisa dijadikan pedoman yang diterima oleh semua
negara anggota Unesco.
Di antara banyak dokumen tentang etika terapan yang
dihasilkan oleh Unesco, terutama ada dua yang pantas disebut, Yang pertama
adalah Universal Declaration on the Human
Genome and Human Rights (1997). Tujuannya adalah menyajikan prinsip-prinsip
dasat yang dapat mendampingi perkembangan pesat di bidang genetik dan
aplikasinya dalam teknologi genetis. Yang kedua adalah Universal Decalaration on Bioethics and Human Rights (2005) yang
mempunyai perspektif lebih luas dari genetik saja.
Tantangan-tantangan etika dalam konteks ilmu dan teknologi,
pada akhir tahun 2005 Unesco meluncurkan proyek Global Ethics Observatory yang dapat diakses melalui internet (www.unesco.org/shs/ethics/geobs). Proyek ini menyajikan enam database. Tentang pakar-pakar di bidang
etika di seluruh dunia, tentang institusi, pusat penelitian, himpunan profesi
dan sebagainya yang berkecimpung dalam etika terapan pada taraf regional, nasional,
atau internasional, tentang program pengajaran etika ilmu dan teknologi,
tentang kode etik di bidang itu, dan terakhir tentang resources in ethics.
Gambaran tentang
peranan dan kedudukan etika terapan yang diusahakan di atas tentu jauh
dari lengkap. Jika etika kini begitu disibukkan di bidang praktis, tidak bisa
lain teori etika terkena juga. Terdapat pengaruh timbal balik antara etika
teoretis dan etika terapan. Ia menggunakan prinsip-prinsip dan teori moral yang
diharapkan sudah mempunyai dasar kukuh. Hal etika terapan tidak bisa
diandalkan, kecuali teori etika yang ada di belakangnya berbobot dan bermutu.
Kualitas etika terapan turut ditentukan oleh kualitas teori etika yang
digunakannya.
2.2 Beberapa Bidang Garapan bagi Etika
Terapan
Etika terapan berbicara tentang apa? Banyak sekali topik
dibahas di dalamnya. Untuk sekedar menciptakan kejernihan
dalam kerumunan pokok pembicaraan itu dapat kita bedakan antara dua wilayah
besar diselidiki dalam etika terapan.
Jika ditanyakan yang
mana dari cabang-cabang etika terapan ini mendapat paling banyak perhatian pada
zaman kita sekarang, barangkali perlu disebut terutama empat cabang berikut
ini, dua di antaranya menyangkut profesi dan dua lagi mengenai masalah: etika
kedokteran, etika bisnis, etika tentang perang dan damai (Termasuk di dalamnya
persenjataan nuklir), dan etika lingkungan hidup
Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah membedakan
antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas masalah-masalah moral
pada skala besar, artinya, masalah-masalah ini menyangkut suatu bangsa
seluruhnya bahkan seluruh umat manusia.
Supaya klasifikasi cabang-cabang etika terapan ini agak
lengkap, akhirnya dapat disebut lagi sebuah pembagian lain, biarpun relevasinya
sekarang sering diragukan. Di sini etika individual membahas kewajiban manusia
terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika sosial memandang kewajiban manusia
sebagai anggota masyarakat. Tapi kesulitan tentang pembagian ini adalah bahwa
manusia perorangan pun merupakan anggota masyarakat. Dan rupanya tidak ada satu
masalah pun yang bisa dilepaskan dari konteks sosialnya, sehingga pembagian ke
dalam etika individual dan etika sosial kehilangan relevasinya.
2.3 Etika Terapan dan
Pendekatan Multidispliner
Salah satu ciri khas etika terapan sekarang ini adalah kerja
sama erat antara etika dan ilmu-ilmu lain. Etika terapan tidak bisa dijalankan
dengan baik tanpa kerja sama itu, karena ia harus membentuk pertimbangan tentng
bidang-bidang yang sama sekali diluar keahlianya. Di sini kita bisa membedakan
antara pendekatan multidisipliner dan pendekatan interdispliner. Pendekatan
multidispliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh berbagai
ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang satu di samping yang
lain. Misalnya, kita bisa membayangkan pembuatan buku tentang etika lingkungan
hidup,dimana berbagai ahli memberi kontribusinya dari sudut pandang
masing-masing. Ada ahli biokimia, ahli ekonomi, ahli masalah kependudukan, ahli
meterelogi, dan ahli etika yang masing-masing menulis sebuah bab. Pendekatan
interdisipliner adalah kerja sama antara beberapa ilmu tentang tema yang sama
dengan maksud mencapai suatu pandangan terpadu. Pendekatan interdisipliner
dijalankan dengan cara cara lintas disiplin.
Jean Bernard, biologi prancis terkemuka dan anggota akademi
ilmu prancis, menulis buku bermutu tentang
masalah-masalah etis di bidang ilmu-ilmu biomedis. Ditanah air kita sendiri
seorang ketua ikatan Dokter indonesia pernah menulis buku tentang dampak
teknologi bagi etika.
2.4 Pentingnya Kasuistik
Dengan kasuistik dimaksudkan usaha memecahkan kasus-kasus
konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum jadi, kasuistik
ini sejalan dengan maksud umum etika terapan. Tidak mengherankan bila dalam
suasana etis yang menandai zaman kita sekarang, timbul minat baru untuk
kasuistik. Jika kita memandang sejarah etika, kauistik mempunyai suatau tradisi
panjang dan kaya yang sesbenarnya sudah dimulai dengan pengertian Aristoteles
mengenai etika sabagai ilmu praktis. Karena sifatnya praktis, setiap uraian
tentang etika dengan sendirinya disertai contoh-contoh mengenai situasi
konkret. Tekanan pada contoh-contoh konkret yang sudah terlihat sejak permulaan
sejarah etika itu mudah berkembang ke arah kasuistik. Tapi dalam perekmbanganya
kasuistik sering mengalami naik turun. Zaman kejayaan kauistik disusul zaman
kemunduran dan kecurigaan.
Uraian-uraian tentang etika terapan kerap kali disertai
dengan pembahasankasus.salah satu cabang di mana kasuistik sekarang paling
banyak dipergunakan adalah etika biomedis. Dalam buku pegangan dan majalah
tentang etika biomedis sudah menjadi kebiasaan agak umum membicarakan
kasus-kasus konkret. Malah beberapa buku diterbitkan yang
diisi selurhnya dengan pembahasaan kasus,yang menarik ialah bahwa praktek
kasuistik ini cocock sekali dengan bidang kedokteran itu sendiri. Suatu bidang
lain dimana kasuistik sudah lama diprktekkan adalah hukum. Disitu juga ketentuan-ketentuan yang
umum diterapkan pada kasus-kasuskonkret. Dan di situ pun situasi khusus si
klien memainkan peranan penting. Dalam konteks kehakiman sering dibicarakan
tentang faktor-fakor yang meringankan atau memberatkan. Suatu wilayah yang
masih agak baru bagi kasuistik adalah bisnis, seperti cabang terapan itu sendiri
masih sesuatu yang baru.
Mengapa kasuistik bisa menjadi cara yang paling begitu
populer untuk menangani masalah-masalah moral? karena ternyata kasuistik diakui
sebagai metode yang efisein untuk mencapai kesepakatan di bidang moral. Jika orang berangkat dari teori, jauh
lebih sulit untuk sampai pada kesepakatan seperti itu.
2.5 Kode Etik Profesi
Kode etik sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah
lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam
masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang
teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah “Sumpah
Hippokrates” yang bisa dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi
dokter. Hippokrates adalah dokter Yunani kuno yang digelari”bapak ilmu
kedokteran”dan hidup dalam abad ke-5M.
Dalam konteks ini etika terapan memegang peranan
penting.kode etik bisa dilihat sebagai produk etika terapan, sebab dihasilkan
berkat penerapan pemikirang etis atas suatu wilayah tertentu,yaitu profesi.
Tapi stelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak
menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi oleh refleksi
etis. Kode etik bisa diubah juga atau dibuat baru, jika sbelumnya tidak ada
setelah terjadi penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan membingungkan
profesi itu sendiri. Ini terbukti suatu cara ampuh untuk memulihkan kembali
kepercayaan masyarakat yang sedang tergoncang. Sebuah contoh konkret dapat
menjelaskan maksudnya. Di beberapa negara hubungan anatara para dokter dan
industri farmasi diatur dengan kode etik. Hal itu dianggap perlu, setelah dalam
rangka promosi obat-obatan industri farmasi mulai memberikan hadiah kepada
dokter (berupa tiket pesawat, laptop, dan sebagainya), bila ia mencantumkan
obat tertentu dalam resep-resep yang ditulisnya bagi pasienya. Dari sudut etis,
praktek seperti itu patut diragukan sebab, di satu pihak, jika mau berobat,
pasienya tergantung pada dokter yang menulis resep.
Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil
dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diaasi terus-menerus. Pada umumnya kode
etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode.
Kasus-kasus pelanggaran akan dinilai dan ditindak oleh suatu “dewan kehormatan”
atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah
terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan juga
ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejati
melanggar kode etik.
Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat, akan suatu
profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa
kepentingannya akan terjamin. Dalam dekade-dekade terakhir ini timbulnya
komputerisasi, misalnya bagi banyak profesi menciptakan suatu situasi baru yang
menimbulkan implikasi-implikasi etis yang baru pula. Kode etik bisa diubah
juga-atau dibuat baru, jika sebelumnya tidak ada-, setelah terjadi
penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan membingungkan profesi itu
sendiri. Ini terbukti suatu cara ampuh untuk memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat yang sedang tergoncang. Sebuah contoh konkret dapat menjelaskan
maksudnya. Dibeberapa negara hubungan antara para dokter dan industri farmasi
diatur dengan kode eti. Hal itu dianggap perlu, setelah dalam rangka promosi
obat-obatan industri farmasi mulai memberikan hadiah kepada dokter (berupa
tiket pesawat, laptop, dan sebagainya), bila ia mencantumkan obat tertentu
dalam resep-resep yang ditulisnya bagi pasiennya. Dari sudut etis, praktek
seperti itu patut diragukan. Sebab, di satu pihak, jika mau berobat, pasien
tergantung pada dokter yang menulis resep. Pasien sendiri tidak tahu-menahu
tentang obat dan seluk-beluknya. Di lain pihak, justru atas dasar profesinya
dokter harus mengambil keputusan-juga dalam menulis resep-semata-mata demi
kepentingan pasien dan bukan karena kepentingan lain. Adalah tidak etis, jika
dokter mengambil keputusan demi keuntungan pribadi yang diperolehnya melalui
industri farmasi. Dalam hal ini, pasien mudah dirugikan, karena obat yang satu
itu agaknya lebih mahal dari obat lain, obat generik, umpamanya. Dalam
kasus-kasus serupa itu kode etik sudah sering membuktikan kegunaannya dalam
memberi arah moral yang betul kepada profesi dan menjamin kepercayaan
masyarakat.
Supaya dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat
mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak
akan efektif, kalau didrop begitu saja dari atas- dari instansi pemerintah atau
instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang
hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Tapi pembuatan itu sendiri harus
dilakukan oleh profesi bersangkutan. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode
etik harus menjadi hasil self-regulation (pengaturan diri) dari profesi.
Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil
dengan baik adalah bahwa pelaksaannya diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode
etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggaran kode. Karena
tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode
etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila
ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Sebagai contoh profesi yang
mempunyai kebiasaan menyusun kode etik dapat disebut dokter perawat, petugas
pelayanan kesehatan lainnya, pengacara, wartawan, insinyur, akuntan, perusahaan
periklanan dan lain-lain.
2.6 Etika di Depan Ilmu
dan Teknologi
Diantara
faktor-faktor yang mengakibatkan suasana etis dizaman kita sekarang
perkembangan pesat dan menakjubkan dibidang ilmu dan teknologi pasti mempunyai
kedudukan penting. Dengan “ilmu” disini terutama dimaksudkan ilmu alam. Dan
dengan “teknologi” dimengerti penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita
menguasai dan memanfaatkan daya-daya alam.
2.6.1
Ambivalensi Kemajuan Ilmiah
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa kemajuan yang dicapai
berkat ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya, disamping banyak akibat positif
terdapat juga akibat-akibat negatif. Berkat adanya ilmu dan teknologi manusia
memperoleh banyak kemudahan dan kemajuan yang dulu malah tidak ditampilkan.
Contoh yang tidak kalah penting adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
membuat hidup kita lebih berkualitas dan cukup drastis meningkatkan umur
harapan hidup (life expectancy).
Mula-mula perkembangan ilmiah dan teknologi itu dinilai
sebagai kemajuan belaka. Orang hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang
terbuka luas bagi manusia. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk
memecahkan semua kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan
kemajuan itu menjadi kentara sekali dalam pemikiran filsuf Perancis, Auguste
Comte (1798-1857), yang memandang zaman ilmiah yang disebutnya “zaman positif”-
sebagai puncak dan titik akhir seluruh sejarah. Ambivalent seluruh proses
ilmiah-teknologis itu ada sehi positif ada juga segi negatif. Disamping
kemajuan luar biasa, ditimbulkan juga banyak problem dan kesulitan baru. Tidak
bisa dimungkiri, problem dan kesulitan ini sering mempunyai konotasi etis.
Kesadaran akan aspek-aspek negatif yang melekat pada ilmu dan teknologi,
mungkin belum pernah dirasakan begitu jelas dan meyakinkan seperti pada saat
bom atom pertama dijatuhkan diatas kota Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan
tiga hari kemudian diatas kota Nagasaki. Yang dibawakan oleh ilmu dan teknologi
modern bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan kehancuran, jika
manusia tidak segera tahu membatasi diri.
2.6.2
Masalah Bebas Nilai
Dari yang dikatakan tadi kiranya sudah jelas bahwa terdapat
hubungan dengan langsung antara ilmu dan pertimbangan moral. Ilmu dan moral
tidak merupakan dua kawasan yang sama
sekali asing yang satu terhadap yang lain, tapi ada titik temu diantaranya.
Pada saat-saat tertentu dalam pekembangannya ilmu dan teknologi bertemu dengan
moral. Dengan itu kami sebenarnya sudah menjawab pertanyaan tentang hubungan
antara ilmu dan nilai-nilai moral yang dikenal lebih baik dalam bentuk “apakah
ilmu itu bebas nilai?”. Atas pertanyaan ini
sekarang agak umum dijawab bahwa ilmu tidak asing terhadap nilai dan dalam arti
itu ilmu tidak bebas nilai. Dulu banyak ilmuwan merasa segan mengakui bahwa
ilmu itu tidak bebas nilai, karena mereka mengkhawatirkan dengan itu otonomi
ilmu pengetahuan akan dirongrong.
Ilmu adalah otonom dalam mengembangkan metode dan
prosedurnya, kini bisa diterima tanpa keberatan apapun. Tidak ada instansi lain
yang berhak menyensor atau memerintahkan penelitian ilmiah. “Kami mencari
kebenaran dan bukan sesuatu yang lain” sudah lama menjadi semboyan untuk banyak
ilmuwan. Akan tetapi, ilmu dan terutama teknologi- sebagai penerapan ilmu
teoritis- tercantum juga dalam suatu konteks lebih luas. Dan terutama karena
alasan itulah ia berjumpa dengan nilai-nilai moral. Ilmu dan teknologi bergumul
dengan peryanyaan “bagaimana” (bagaimana struktur materi, bagaimana caranya
membuat mesin mobil yang irit bahan bakar dan banyak lagi). Teori ilmiah dan
penerapannya dalam teknik memberi jawaban atas pertanyaan itu.
2.6.3
Teknologi yang Tak Terkendali?
Dalam refleksi filosofis tentang situasi zaman kita sudah
beberapa kali dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi merupakan
proses yang seakan-akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari
kemauan manusia. Keadaan ini bisa mengherankan, karena teknik sebenarnya
dimulai untuk membantu manusia. Fungsinya pada dasarnya bersifat instrumental,
artinya, menyediakan alat-alat bagi manusia. Teknik mula-mula dianggap
memperpanjang fungsi-fungsi tubuh manusia: kaki (alat-alat transportasi),
tangan (mesin-mesin, alat-alat besar), mata (film, televisi), telinga (radio,
telepon) sampai dengan otak (komputer). Tapi apa yang dirancang sebagai sarana
yang memungkinkan manusia untuk memperluas penguasaannya terhadap dunia
ternyata menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malah kadang-kadang tidak bisa
dikuasai. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf jerman yang dalam hal ini barang
kali mempunyai pandangan paling ekstrem, berpendapat bahwa teknik yang
diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang mulai menguasai manusia
sendiri. Proses ilmu dan teknologi berkembang otomatis tampaknya sering kali
beralasan. Hal itu merupakan proses yang seolah-olah tak terhindarkan.
Masalah-masalah etis yang begitu berat meminta penanganan
lebih menyeluruh. Dalam praktek kita lihat bahwa masalah-masalah etis yang
ditimbulkan oleh ilmu dan teknologi ditangani dengan cara yang berbeda-beda.
Masalah-masalah dibidang ilmu-ilmu biomedis biasanya ditangani oleh setiap
negara, setelah diminta advis dari suatu komisi ahli (fertilisasi in vitro dan
reproduksi artifisial pada umumnya, transplantasi organ tubuh, eksperimen
dengan manusia, dan lain-lain), masalah-masalah persenjataan nuklir dan kimia
diusahakan untuk diatur melalui perjanjian-perjanjian internasional. Masalah-masalah
lingkungan hidup baru mulai dipikirkan: ada usaha pada taraf nasional, regional
dan malah global, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Biarpun
perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan teknologi memang ada, namun
usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari usaha untuk memacu ilmu dan
teknologi.
2.6.4
Tanda-tanda yang Menimbulkan Harapan
Pemikiran etis hanya menyusul perkembangan
ilmiah-teknologis. Baru sesudah problem-problem etis timbul, etika sebagai ilmu
mulai diikut sertakan. Refleksi etis tentang persenjataan nuklir baru dimulai,
setelah bom atom pertama diledakkan. Refleksi etis tentang reproduksi
artifisial baru dikembangkan, sesudah “bayi tabung” pertama telah lahir dan
eksperimen-eksperimen sudah lama diadakan. Perkembangan ilmiah-teknologis
selalu mendahului pemikiran etis. Yang ideal adalah bahwa pemikiran etis
mendahului dan mengarahkan perkembangan ilmiah-teknologis, tapi cita-cita
seperti itu rasanya masih mustahil untuk diwujudukan. Namun demikian, perlu
dicatat bahwa disini ada beberapa perkembangan yang menggembirakan dan dapat
membesarkan hati. Salah satu diantaranya adalah munculnya komisi-komisi etika.
Suatu gejala lain yang menggembirakan adalah keikutsertaan
etika dalam penelitian genetika tentang gen-gen manusia. Di Amerika Serikat
pada tanggal 1 Oktober 1990 secara resmi dimulai proyek penelitian raksasa yang
bertujuan mempelajari bentuk dan isi gen-gen manusia. Proyek yang diberi nama
resmi The Human Genome Project ini memetakan
dan menentukan runtutunan seluruh DNA genome manusia. Melalui proyek besar ini
lokasi yang tepat dan runtunan nukleotide yang menyusun sekitar 3 biliun DNA
genome manusia diketahui dan dikatalogkan. Pekerjaan besar ini dipimpin oleh National Center for Human Genome Research,
yang selalu bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain dalam dan luar
negeri. Pada tahun 2001 proyek ambisius ini akhirnya selesai dan selanjutnya
aplikasi dalam genetika bisa dimulai yang berpotensi untuk mengubah wajah kedokteran
pada masa depan.
2.7 Metode Etika Terapan
Dalam etika
terapan, variasi metode dan variasi pendekatan pasti besar sekali. dalam
etika terapan berapapun besarnya variasi yang dapat ditemui disini . sebenarnya
empat unsur ini mewaarnai setiap pemikiran etis. Jadi, metode
etika terapan sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada
umumnya.
Sikap awal bisa ro
atau kontra atau juga netral, malah bisa tak acuh, tapi-bagaimanapun-mula-mula
sikap ini dalam keadaan belum direfleksikan. Pada mulaya kita belum berfikir
mengapa kita bersikap demikian .misalnya di negara yang memproduksi senjata
nuklir,hal itu diterima begitu saja oleh kebayakan warga negara.dalam masyarakat yang agak
tertutup kebiasaan bahwa orang tua memilih calon teman hidup bagi anaknya bisa
berlangsung tampa kesulitan dan orang muda menerima saja tradisi itu.
Sikap awal ini
terbentuk karena bermacam macam faktor yang memainkan peranan dalam hidup
seorang manusia: pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi, media
massa, watak seseorang, dll. Sikap awal itu menjadi promblematis, jika kita
bertemu dengan orang yang mempunyai sikap lain dengan masalah yang sama.
2.7.1
Dari Sikap Awal
menuju Refleksi
Dalam usaha membentuk suatu pandangan beralasan tentang
masalah etis apa pun, kita tidak pernah bertolak dari titik nol. Selalu ada
sikap awal. Kita mulai dengan mengambil suatu sikap tertentu terhadap masalah
bersangkutan. Demikian halnya juga dengan orang yang mulai menekuni etika
terapan. Sikap moral ini bisa pro atau kontra atau juga netral, malah bisa tak
acuh, tapi bagaimana pun mula-mula sikap ini dalam keadaan belum direfleksikan.
Misalnya dinegara yang memproduksi senjata nuklir, hal itu diterima begitu saja
oleh kebanyakan warna Negara.
2.7.2
Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang
dibutuhkan adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis yang
terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bisa saja terjadi sikap awal
yang pro atau kontra itu sebenarnya masih sangat emosional atau sekurang-kurangnya
dikuasai oleh faktor subjektif yang tidak sesuai dengan keadaan objektif.
Misalnya, diskusi tentang penggunaan energi nuklir untuk membangkitkan listrik
sangat dipengaruhi oleh segi-segi ekonomis. Dilihat dari sudut pandang ekonomi,
energi nuklir adalah energi yang relatif murah dan karena itu menguntungkan. Itulah
sebabnya mengapa segi lain seperti keamanan dan penyimpanan smpah nuklir
diremehkan saja, supaya pertimbangan ekonomis bisa menang.
2.7.3
Norma-norma Moral
Unsur berikut dalam metode etika terapan adalah
norma-norma moral moral yang relevan untuk topik atau bidang bersangkutan.
Norma-norma moral itu sudah diterima dimasyarakat (jadi, tidak diciptakan untuk
kesempatan ini). Tidak bisa disangkal, penerapan norma-norma moral ini
merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan.
Penerapan norma-norma disini tidak berlangsung seperti
penerapan prinsip-prinsip teori mekanika dalam teknik. Karena itu namanya
“Etika Terapan” sebetulnya bisa menyesatkan dan ada etikawan yang tidak begitu
senang dengan nama itu karena alasan tersebut. Tidak boleh diberi kesan
seolah-olah norma sendiri sudah siap sedia dan tinggal diterapkan saja. Dalam
penelitian etika terapan sering kali norma itu harus tampak dulu atau harus
membuktikan diri sebagai norma. Norma bersangkutan harus diterima oleh semua
orang sebagai berlaku untuk kasus atau bidang tertentu. Pembentukan penilaian
moral sering dimulai oleh suatu kelompok kecil, misal, partai polotik atau
lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan suatu pandangan etis tertentu.
Melalui perjuangan yang sering kali panjang, pandangan mereka akhirnya diterima
srbagai suatu pandangan etis yang berlaku bagi umum. Contoh: Penghapusan
perbudakan. Dalam deklarasi universal
tentang hak-hak asasi manusia (1948), perbudakan dalam bentuk apapun secara
eksplisit ditolak.
2.7.4
Logika
Uraian yang diberikan dalam etika terapan harus bersifat
logis juga. Ini tentu tidak merupakan tuntutan khusus bagi etika saja, sebab
berlaku untuk setiap uraian yang mempunyai pretense rasional. Logika dapat
memperlihatkan bagimana dalam suatu argumentasi tentang masalah moral perkaitan
kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan juga apakah penyimpulan itu tahan
uji, jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Logika dapat
menunjukkan kesalahan-kesalahan penalaran dan inkonsistensi yang barangkali
terjadi dalam argumentasi. Logika juga memungkinkan untuk menilai definisi dan
klasifikasi yang dipakai dalam argumentasi.
CONTOH STUDI KASUS
KECURANGAN DIDALAM PERUSAHAAN TELKOMSEL
Telkomsel Diduga Lakukan Manipulasi dalam Iklan
Talkmania
Telkomsel diduga melakukan manipulasi dalam program
“Talkmania” dengan tetap menarik pulsa pelanggan meski keutamaan dalam
program itu tidak diberikan. Salah seorang warga Kota Medan, Mulyadi (37) di
Medan, mengatakan, dalam iklannya, Telkomsel menjanjikan gratis menelepon ke
sesama produk operator selular itu selama 5.400 detik (90 menit). Untuk
mendapatkan layanan itu, pulsa pelanggan akan dikurangi Rp3 ribu setelah
mendaftar melalui SMS “TM ON” yang dikirim ke nomor 8999 terlebih dulu. Namun,
pelanggan sering merasa kecewa karena layanan itu selalu gagal dan hanya
dijawab dengan pernyataan maaf disebabkan sistem di operator selular tersebut
sedang sibuk serta disuruh mencoba lagi.Tapi pulsa pelanggan tetap dikurangi,
dan apabila terus dicoba tetap juga gagal, sedangkan pulsa terus dikurangi,
katanya.
Warga Kota Medan yang lain, Ulung (34) mengatakan,
penggunaan layanan Talkmania yang diiklankan Telkomsel itu seperti “berjudi”.
“Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal, namun pulsa tetap ditarik,”
katanya. Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid
Wajdi, SH, MHum mengatakan, layanan iklan Telkomsel itu dapat dianggap
manipulasi karena terjadinya “misleadding” atau perbedaan antara realisasi
dengan janji. Pihaknya siap memfasilitasi dan melakukan pendampingan jika ada
warga yang merasa dirugikan dan akan menggugat permasalahan itu secara
hukum.Secara sekilas, kata Farid, permasalahan itu terlihat ringan karena hanya
mengurangi pulsa telepon selular masyarakat sebesar Rp3 ribu. Namun jika
kejadian itu dialami satu juta warga saja dari sekian puluh juta pelanggan
Telkomsel, maka terdapat dana Rp3 miliar yang didapatkan operator selular itu
dari praktik manipulasi iklan tersebut.
Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) dan
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) perlu turun tangan menangani hal
itu agar masyarakat tidak terus dirugikan.Apabila ditemukan bukti adanya praktik
manipulasi itu, diharapkan Depkominfo dan BRTI menjatuhkan sanksi yang tegas
agar perbuatan itu tidak terjadi lagi.Semua peristiwa itu terjadi karena iklan
operator selular selama ini sering menjebak, saling menjatuhkan dan tidak
memiliki aturan yang jelas, katanya.Humas Telkomsel Medan, Weni yang
dikonfirmasi mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan terhadap nomor
pelanggan yang merasa dirugikan dalam layanan Talkmania tersebut. “Namun,
Telkomsel telah ‘merefine’ atau mengembalikan kembali pulsa nomor-nomor
handphone yang gagal itu,” katanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika terapan dapat
menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. Sebagai contoh tentang etika
terapan yang membahas profesi dapat disebut: etika kedokteran, etika politik,
etika bisnis, dan sebagainya. Di antara masalah-masalah yang dibahas oleh etika
terapan dapat disebut: penggunaan senjata nuklir, pencemaran lingkungan hidup,
diskriminasi dalam segala bentuknya (ras, agama, jenis kelamin, dan lain-lain)
dan etika lingkungan hidup. Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah
membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas
masalah-masalah moral pada skala besar artinya, masalah-masalah ini menyangkut
suatu bangsa seluruhnya atau bahkan seluruh umat manusia. Mikroetika
membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis di mana individu terlibat, seperti
kewajiban dokter terhadap pasiennya atau kewajiban dokter terhadap kliennya
(misalnya, kewajiban mengatakan yang benar, kewajiban menyimpan rahasia
jabatan, dan sebagainya).
Saran yang dapat penulis sampaikan antara lain adalah hendaknya bimbingan etika terapan dilakukan sejak dini melalui pendekatan keluarga,
sehingga seorang anak setelah menginjak dewasa, sudah mempunyai bekal yang
cukup. Seperti pembekalan bagaimana cara bersikap yang baik pada orang yang
lebih tua serat unggah-ungguh yang sesuai dengan norma yang berlaku. Seorang anak hendaknya dimaksukkan pada suatu tempat
yang dalam lingkup pembekalan rohani (seperti pengajian / TPQ) dan lain
sebagainya agar lebih memantapkan bekal ilmu agama. Orang tua hendaknya selalu mengawasi pergaulan
anak-anaknya, serta memilih mana teman yang baik untuk pergaulan dan mana teman
yang diidentifikasi akan merusak etika dan moral buah hatinya. Pemerintah hendaknya mencanangkan program pendidikan
nilai dan moral dalam sebuah kurikulum pendidikan, sehingga di lngkungan sekolah
tidak hanya mengenyam pendidikan-pendidikan umum, namun juga mendapatkan
pendidikan nilai dan moral. Hendaknya ada kerjasama baik antara keluarga,
masyarakat dan pemerintah guna mencetak generasi masa depan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
G. Maertens dkk., Bioetika. Refleksi Atas Masalah Etika Biomedis, Jakarta, Gramedia, 1990.
K. Bertens, Keprihatinan Moral. Telaah atas Masalah Etika, Yogyakarta,
Kanisius, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar